Saturday, April 19, 2014

Pulang

Aku menulis ini setelah satu tahun aku menetap di sini. Sejak 23 Maret 2013, aku harus meninggalkan tempat tinggalku selama tujuh tahun terakhir dan kembali ke tanah air. Tidak bisa aku katakan, apakah aku pulang dengan kesedihan ataupun kelegaan? Mungkin kedua-duanya.

Aku pulang.

Ternyata kembali menjadi sebuah mimpi buruk. Yang kulakukan selama berminggu-minggu hanya menangis dan menangis. Hingga akhirnya suatu hari, kurang lebih dua minggu setelah aku pindah, akhirnya aku mulai menemui titik terang. Aku diterima masuk ke sekolah itu. Meskipun banyak yang mengatakan, “Bukankah dia anak yang pintar? Kenapa tidak dimasukkan SMA lain saja”. Tapi, aku yang memang sudah tidak peduli dengan apa pun lagi, tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Toh, kredibilitas sekolah baruku itu menurutku tidak terlalu jelek. Urutan ke-empat se-Kota. Dan, yang aku inginkan hanya segera masuk sekolah dan mengejar pelajaran yang tertinggal. Apalagi kurikulum pembelajaran di negara ini jauh berbeda dengan negara tempat tinggalku sebelum ini.

Tanggal 5 April 2013
Hari pertama aku masuk sekolah. Meskipun belum mulai belajar, tapi tetap aku merasa deg-degan. Letak sekolah baruku lumayan jauh, walaupun setelah beberapa lama, aku mulai terbiasa dan menganggapnya cuma berjarak sejengkal dari rumah.

Pertama, aku menaiki angkutan kota lalu berhenti di terminal lama. Kemudian, diteruskan dengan menaiki becak. Jalan yang kulewati kecil dan berbelok-belok. Aku melewati jalan perumahan yang kelihatannya tak berujung dan becak yang kutumpangi seakan berjalan di suatu dimensi lain, asing dan tak dikenal. Dan waktu. Waktu berjalan dengan sangat aneh. Kadang seakan berjalan di tempat, bagai terperangkap dalam sebuah toples kaca. Kemudian, berlari kencang melebihi kecepatan cahaya. Hatiku waktu itu sudah bercampur aduk. Rumah demi rumah dilalui. Lalu, sebuah tong di tengah perempatan. Belok kiri. Becak itu bergoyang-goyang sementara ibuku berusaha mempertahankan konversasi bersamaku; walaupun aku tidak bisa fokus. Kemudian, kami tiba di sebuah jalan raya besar.

Jalan itu penuh dengan pabrik. Itu pikiran pertamaku. Aku tidak pernah tahu tentang tempat ini meskipun terlahir di kota ini. Kelak aku tahu nama jalan ini adalah Jalan Mauni. Juga dikenal sebagai Jalan Brigadir Jenderal Polisi Imam Bachri.

“Di sebelah sekolahmu ada kantor polisi. Ibu takut nanti kalau kesini lagi naik motor, entar kena tilang”, kata Ibu.

“Begitukah?”, balasku singkat.

Becak itu menyeberang jalan dengan agak terseok. Perlahan-lahan. Akhirnya, aku melihat sebuah gapura agak besar. Tertulis besar-besar di atasnya.

Dalam tulisan emas.

No comments:

Post a Comment

 
Back to Top